Kelesuan Harga Komoditas Membayangi Prospek Emiten Tambang Tahun Depan
Harga sejumlah komoditas tambang mulai dari batubara hingga nikel diproyeksi masih lesu tahun depan. Ini membuat prospek emiten pertambangan masih dihantui sentimen negatif di 2024.
Head of Equities Investment Berdikari Manajemen Investasi, Agung Ramadoni menilai, saham-saham berbasis komoditas masih belum prospektif tahun depan. Bukan hanya dari sisi pasokan yang mengalami kelebihan pasokan (over supply), prospek komoditas pertambangan juga dibayangi sentimen dari sisi permintaan.
Pertumbuhan perekonomian negara-negara maju seperti Amerika Serikat, China, dan wilayah Eropa masih belum mampu mencapai ke level pra-pandemi. ”Terutama negara China sebagai sumber permintaan terbesar dari komoditas yang masih dalam masalah besar, mulai dari sektor properti sampai dengan sektor manufacturing negara tersebut, walaupun pemerintahnya sudah banyak memberikan stimulus,” terang Agung kepada Kontan.co.id, Minggu (3/12)
Sejumlah emiten pun mengamini, bahwa sejauh ini belum ada sentimen yang mampu mengangkat harga komoditas tambang tahun depan. Bernardus Irmanto, Chief Financial Officer PT Vale Indonesia Tbk (INCO) mengatakan saat ini masih ada tekanan harga nikel terutama dari adanya tendensi kelebihan pasokan (oversupply) di semua kelas nikel, baik kelas 2 maupun kelas 1. Sehingga, saat ini harga nikel berfluktuasi di rentang US$ 16.000 per ton sampai US$ 17.000 per ton.
Irmanto menyebut, harga nikel yang dibutuhkan agar INCO mencapai titik impas atau break even point (BEP) berada di kisaran level US$ 12.000 sampai US$ 13.000. “Secara margin masih cukup aman, kami tidak memperkirakan harga nikel akan jatuh ke level US$ 13.000 per ton,” terang Irmanto.
INCO memperkirakan produksi nikel matte tahun depan di angka 70.000 ton. Angka ini tidak mengalami kenaikan dari estimasi produksi tahun ini, yakni di angka 70.000 ton. Angka ini mempertimbangkan faktor tingkat pemeliharaan alat tambang dan grade nikel yang ada di area tambang yang berpengaruh terhadap output.
Direktur PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) Yulius Kurniawan Gozali memproyeksi outlook batubara tahun depan tidak banyak berubah dari tahun ini. Pun demikian, harga batubara diproyeksi tidak banyak berubah dari level saat ini.
Yulius mengatakan, meski harga saat ini cenderung menurun, prospek batubara saat ini masih jauh lebih bagus dibandingkan kondisi 5 tahun lalu, dimana batubara bergerak di kisaran US$ 70 sampai US$ 80 per ton. “Di level saat ini permintaan cukup kuat sehingga harga stabil di US$ 110 sampai US$ 120 per ton,” kata Yulius.
Yulius mengaku permintaan batubara juga meningkat, bahkan lebih tinggi dari tahun lalu. Terjadi peningkatan impor batubara termal China pada tahun ini seiring kekhawatiran pasokan dalam negeri. Tingginya harga batubara dalam negeri China diperkirakan akan terus berlanjut hingga akhir tahun. Pun demikian dengan permintaan di India yang meningkat seiring dengan lemahnya pembangkit listrik tenaga air, meskipun permintaan dari Eropa dan wilayah Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan mengalami kontraksi.
Untuk tahun depan, ITMG menaksir volume produksi akan cenderung naik seiring dengan prospek batubara yang dinilai masih baik. Tahun depan, tambang baru ITMG yakni Graha Panca Karsa juga akan beroperasi dengan proyeksi memproduksi 1 juta ton di tahap awal.
Farida Thamrin, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Bukit Asam Tbk (PTBA) mengamini, harga batubara tahun ini memang tidak sebagus 2021 maupun 2022. Hal ini terlihat dari terkoreksinya harga batubara Index Newcastle dan Indonesia Coal Index (ICI). Pada kuartal
III-2023, harga batubara Newcastle melemah hingga 65% secara year-on-year (YoY) ke level US$ 148 per ton, sedangkan harga batubara ICI melemah 40% ke level US$ 72 per ton.
Meski demikian, Farida Optimistis permintaan dan harga batubara di sisa tahun ini masih akan tinggi. “Di negara-negara pembeli, permintaan masih tinggi, bukan hanya di Asia seperti China dan India. Kami optimis bisa meningkatkan penjualan di sisa 2023,” terang Farida.
Dari sisi dividen, Agung menaksir kemungkinan dividen yang dibagikan emiten tambang secara relatif masih akan lebih besar dibanding dengan emiten dari sektor lain di luar emiten bank BUMN. Namun jika dibandingkan secara tahunan, dividen yang diberikan emiten pertambangan di tahun depan kemungkinan tidak akan jauh lebih besar secara nominal.
“Jadi, mungkin daya tarik dividen ini lebih kepada seasonality saja,” sambung Agung.
Asal tahu, sejumlah emiten sektor pertambangan memang menjadi dividend player yang rutin membagikan dividen dengan yield yang tinggi. Sebut saja ITMG, PTBA, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), hingga PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO).
Dari banyaknya emiten tambang, Agung lebih condong ke saham, ADRO ITMG, dan INCO. Pertimbangan ini mengingat porsi ekspor emiten-emiten ini yang cukup besar dan kapitalisasi pasar yang lebih besar di antara emiten tambang lainnya.
Analis BRI Danareksa Sekuritas Hasan Barakwan juga merekomendasikan buy saham INCO dengan target harga Rp 6.500. Hasan memperkirakan kondisi surplus di pasar nikel akan tetap tinggi, sehingga dia menurunkan perkiraan harga nikel tahun depan menjadi US$ 17.000 per ton.