Sepanjang bulan September 2024, emiten cukup ramai mendirikan perusahaan patungan alias Joint Venture (JV). Sebagian emiten membentuk JV untuk memperkuat bisnis inti, dan ada juga yang melakukan aksi ini untuk mempertegas strategi ekspansi.
Tengok saja PT Green Power Group Tbk (LABA) yang berencana mendirikan dua JV. Pertama, LABA akan mendirikan JV bersama perusahaan asal Hongkong. Perusahaan patungan ini nantinya akan bergerak dalam bidang pembuatan teknologi digital Battery Management System (BMS).
“Dengan pendirian perusahaan ini diharapkan Perseroan dapat meningkatkan tingkat kandungan dalam negeri BMS sebesar 10%,” kata Direktur Utama LABA William Ong dalam keterbukaan informasi, Rabu (25/9).
Kedua, LABA akan mendirikan JV bersama perusahaan yang berasal dari Zhejiang, China. JV ini nantinya bergerak dalam bidang manufaktur suku cadang produk dan produksi cetakan, yang difokuskan untuk pembuatan komponen, aksesoris baterai dan produk pendukung energi terbarukan.
Dalam dua JV tersebut LABA akan menggenggam kepemilikan mayoritas, masing-masing 51%. Emiten lain yang sudah menandatangani perjanjian pembentukan JV adalah PT Habco Trans Maritima Tbk (HATM) bersama dengan perusahaan asal Hongkong, Seacon Ships Management Group (HK) Limited.
JV yang berkedudukan dan terdaftar di Singapura tersebut bernama Horizon Sea Ships Pte, yang berfokus pada jasa pengelolaan kapal. Di sektor teknologi, PT Metrodata Electronics Tbk (MTDL) menggandeng FPT IS Company Limited, untuk membentuk JV bernama PT FPT Metrodata Indonesia (FMI).
Pada fase awal, FMI akan fokus pada pengembangan layanan keamanan siber, diikuti dengan layanan kecerdasan buatan alias Artificial Intelligence (AI) dan layanan cloud Graphics Processing Unit (GPU), serta pengembangan perangkat lunak. Selain dari emiten swasta, perusahaan plat merah juga tak ketinggalan untuk mendirikan JV.
Masih di bulan September, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) mendirikan JV bersama dua Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yakni PT Sulsel Citra Indonesia (Perseroda) dan PT Luwu Timur Gemilang (Perseroda). JV dibentuk untuk melakukan pengembangan pertambangan nikel di Blok Pongkeru, Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Kemudian, ada PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR) dan PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI) yang terlibat dalam JV bersama Persada Utama Infra dan Hutama Karya Infrastruktur. JV tersebut merupakan Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) untuk Ruas Bogor – Serpong via Parung.
Founder Stocknow.id Hendra Wardana melihat cukup ramainya pendirian JV mencerminkan strategi adaptif emiten yang berorientasi pada pertumbuhan dan ekspansi. Aksi ini kemungkinan
merupakan bagian dari langkah strategis emiten untuk meningkatkan daya saing di pasar yang semakin kompetitif.
Hendra mencontohkan pembentukan JV oleh HATM di Singapura yang dapat memperluas akses ke pasar internasional, sehingga berpeluang meningkatkan pendapatan dalam jangka panjang. Kemudian LABA yang mempertegas ekspansi ke bisnis ekosistem baterai, yang dipekirakan akan prospektif di era transisi energi.
Begitu juga dengan ANTM yang menggandeng BUMD untuk menggarap nikel sebagai salah satu komoditas strategis.
Equity Research Analyst Kiwoom Sekuritas Vicky Rosalinda menambahkan, pembentukan JV memberikan peluang bagi emiten untuk membuka akses terhadap sumber daya, pasar, hingga teknologi baru.
JV juga berpotensi meningkatkan efisiensi operasional dan mendongkrak pendapatan, apabila perusahan patungan tersebut dapat dieksekusi dengan sukses.
Sementara itu, Senior Research Analyst Lotus Andalan Sekuritas Fath Aliansyah menyoroti prospek yang didapat dari pembentukan JV akan tergantung pada skala nilai tambah yang diberikan.
Apabila JV bisa memberikan potensi pendapatan, penurunan biaya atau memberikan potensi arus kas yang baik, maka pasar pun akan memberikan apresiasi positif.
“Untuk perusahaan yang mendirikan JV perhatikan juga imbas terhadap emiten bersangkutan dan berapa lama imbas tersebut akan terasa,” imbuh Fath.
Pengamat & Praktisi Pasar Modal, Agus Pramono mengingatkan kontribusi dari operasional JV kemungkinan tidak akan instan terhadap kinerja keuangan emiten induknya. Perlu waktu untuk bisa menjalankan bisnis hingga bisa menghasilkan Return on Equity (ROE).
Investor juga perlu mencermati seberapa tinggi JV tersebut bisa menghasilkan ROE dan prospek bisnisnya dalam memberikan nilai tambah bagi perusahaan induk.
“Perlu tahu benar prospek bisnisnya untuk dapat memperkirakan dampak pada eksisting bisnis,” kata Agus.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus menyoroti, dalam pembentukan JV investor juga perlu memperhatikan bagaimana porsi kepemilikan saham. Hal ini penting untuk mengukur seberapa signifikan dampak yang dihasilkan JV terhadap kinerja konsolidasi emiten.
Selain itu, cermati juga perusahaan yang digandeng untuk bekerjasama. “Sehingga mampu memberikan gambaran, seberapa besar kolaborasi keduanya mampu menciptakan prospek yang positif di masa mendatang,” sebut Nico.
Dari sisi pergerakan saham, pembentukan JV bisa jadi akan memberikan sentimen jangka pendek. Tapi terhadap kinerja, Nico sepakat bahwa hasilnya kemungkinan baru dapat dipanen dalam jangka menengah hingga panjang. “Oleh sebab itu, perhatikan fundamental dan potensi valuasinya,” imbuh Nico.
Di antara emiten mendirikan JV pada bulan September, Nico melirik saham ANTM dan JSMR. Vicky turut menjagokan ANTM dengan resistance terdekat di level harga Rp 1.525 – Rp 1.555 serta trading buy untuk JSMR untuk target harga Rp 5.100 – Rp 5.200.
Selain itu, Vicky merekomendasikan MTDL yang berpeluang menuju resistance di Rp 655 – Rp 665, serta buy on weaknes ADHI untuk target harga Rp 282 – Rp 290. Hendra juga menyodorkan saham ANTM, JSMR, ADHI dan MTDL dengan target harga masing-masing di Rp 1.670, Rp 5.500, Rp 344 dan Rp 690 per saham.