SHARE

KENDARI, SOUTH EAST SULAWESI, INDONESIA - 2022/10/20: A pharmacist unloads a line of syrup-type drugs from a sales shelf at a pharmacy. Ministry of Health gave instructions not to give or temporarily prescribe drugs over-the-counter in the form of syrup to the public due to atypical cases of progressive acute kidney failure is occurring in children in Indonesia. (Photo by Andry Denisah/SOPA Images/LightRocket via Getty Images)Foto: SOPA Images/LightRocket via Gett/SOPA Images

  • Sektor farmasi kerap kali dirugikan ketika rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) karena besarnya impor bahan mentah di sektor farmasi
  • Ssecara fundamental tidak semua emiten farmasi kena dampak signifikan dari pelemahan rupiah karena utang usaha berdenominasi mata uang asing relatif kecil
  • Dalam jangka panjang, sektor farmasi masih jadi satu penggerak untuk memajukan kesehatan dalam negeri sehingga inflow investasi masih potensi meningkat untuk jangka panjang. 

Jakarta, Indonesia – Sektor farmasi memang kerap kali kena imbas negatif ketika dolar Amerika Serikat (AS) makin perkasa mengingat mayoritas beban bahan baku masih dimpor. Kendati begitu, ternyata tidak semua emiten mengalami hal yang sama.

Melansir dari Refinitiv, penguatan dolar AS membuat rupiah terjerembab melampaui level psikologis Rp15.300/US$. Pada penutupan hari ini, Selasa (15/8/2023) mata uang Garuda melemah 0,16% secara harian ke posisi Rp15.335/US$. Anjloknya rupiah kali ini menjadi yang terlemah sejak 20 Maret lalu atau nyaris lima bulan terakhir.

Ketika rupiah ambles sektor farmasi menjadi salah satu yang paling kena dampaknya, ini karena beban bahan baku yang biasa digunakan merupakan impor. Alhasil, perusahaan perlu mengeluarkan ongkos lebih untuk mengkompensasi kerugian dari selisih kurs yang meningkat.

Sentimen ini berpengaruh ke harga saham sejumlah emiten farmasi, dari tabel berikut ini kecuali SCPI yang tidak ada pergerakan, hanya nampak dua emiten yang masih berada di zona penguatan sejak awal tahun hingga akhir perdagangan hari ini, yakni TSPC yang berhasil melesat 27,66% dan MERK yang hanya menguat tipis 0,63%.

Sementara sisanya, ada delapan emiten yang harga saham-nya terjerembab di zona merah dan semuanya kompak ambles dua digit, saham PT Indofarma Tbk (INAF) jadi yang anjlok paling dalam hingga lebih dari 50%.

Kendati demikian, ternyata dari segi fundamental tidak semua emiten di sektor farmasi kena dampak signifikan dari keperkasaan dolar AS saat ini.
Hal ini tercermin pada utang usaha yang menggunakan mata uang asing atau dari pasokan luar negeri. Perlu diketahui, utang usaha merupakan kewajiban yang perlu dikeluarkan perusahaan untuk membayar pembelian bahan baku, bahan kemasan dan barang dagangan.

Dari grafik di atas, membandingkan harga saham PT Tempo Scan Pacific Tbk (TSPC) yang paling leading dengan porsi utang usaha berdenominasi mata uang asing yang relatif kecil sekitar 5,54% . Hal itu sudah cukup menjelaskan mengapa pelemahan rupiah jadi tak terlalu berdampak signifikan pada performa sahamnya.

Namun, ada hal kontras yang terjadi pada saham PT Merck Indonesia Tbk (MERK) yang masih bertahan positif harga-nya tetapi porsi utang usaha untuk bayar bahan baku impor lebih dari 50%. Oleh karena itu, hal ini perlu diantisipasi apabila rupiah makin melemah bisa jadi satu risiko harga saham MERK akan berbalik ke zona merah.

Lebih lanjut, dari grafik diatas juga memperlihatkan setidaknya ada tujuh emiten yang memiliki utang usaha untuk membayar impor porsinya relatif sedikit kurang dari 10% seperti TSPC, SCPI, PEHA, KAEF, SOHO, SIDO, dan PYFA. Akan tetapi, selain TSPC dan SCPI dari sejumlah emiten tersebut harga saham-nya belum terlalu atraktif.

Ada potensi mayoritas pergerakan harga saham sektor farmasi masih belum bisa menggeliat disebabkan ketidakpastian faktor eksternal yang meningkat pekan ini mulai dari Bank Sentral AS The Federal Reserve (The Fed). The Fed berpotensi masih akan menaikkan suku bunga membuat dolar AS masih bisa merangkak naik.

Kemudian, dari kawasan Asia dua negeri tujuan ekspor terbesar RI yakni China dan Jepang yang kondisi ekonominya masih loyo. Hal ini membuat rupiah harus rela terjerembab di zona merah dalam beberapa waktu ini.

Ditambah pula dengan perbaikan kondisi pandemi ke endemi membuat kebutuhan layanan kesehatan tak setinggi 2020 lalu ketika awal mula Covid-19 melandai. Dengan begitu, penurunan profitabilitas masih menjadi penyebab harga saham belum mampu atraktif.

Baca:Ranking 11 Saham Rumah Sakit, Ini yang Paling Cuan

Kendati demikian, sektor farmasi merupakan salah satu industri penting bagi keberlanjutan kesehatan Tanah Air. Hal ini juga masuk ke dalam tujuan nomor tiga United Nations Sustainable Development Goals United (UN SDGs) yang disepakati 193 negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2015 lalu.

Dengan begitu, farmasi merupakan salah satu poin penting dalam memastikan kehidupan yang sehat dan mempromosikan kesejahteraan bagi segala usia, sehingga dalam jangka panjang inflow ke sektor ini diharapkan masih akan meningkat seiring dengan kesadaran masyarakat yang meningkat perihal pentingnya mencapai tujuan Environment, Social, and Governance (ESG) yang berkelanjutan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *